Wednesday, July 30, 2014

Terimakasih Tuhan untuk Kedua Kalinya

“Entah feeling atau apa.. hanya saja perasaanku mendadak sangat tidak nyaman saat itu.”
...............
Sewaktu aku kecil aku pernah mengalami kejadian yang amat lekat di memoriku. Kejadian yang masih menjadi trauma bagiku. Saat itu, aku sedang naik motor dengan kedua orangtuaku. Karena sebuah kecelakaan kecil, motor yang dikendarai ayahku hampir saja masuk ke dalam jurang. Detik-detik yang menegangkan dalam hidupku, dan aku pun sangat bersyukur karna aku bisa selamat.
...............
Sore itu perasaanku senang sekali karena akan mengikuti acara Tadrib. Tadrib adalah acara yang diadakan oleh CMA (organisasi rohis di sekolaku). Tadrib diadakan sekali setahun dan biasanya kita pergi camping ke gunung. Lokasi campingnya di Batu Kuda, ya tak terlalu jauh juga karena masih di daerah Bandung.

Setelah selesai pengarahan, kami pun berkemas dan memasukkan barang-barang kami ke dalam angkot. Ya! Kita pergi ke Batu Kuda naik angkot bersama. Sekitar 5 angkot sudah di booking untuk perjalanan kami kesana. Entah feeling atau apa.. hanya saja perasaanku mendadak sangat tidak nyaman saat itu. Perasaanku yang senang tadi tiba-tiba diselimuti rasa khawatir. Teman-temanku sudah masuk angkot. Mereka lebih memilih duduk paling ujung, bahkan berebutan untuk mendapatkan kursi yang paling ujung. Sedangkan aku? Aku lebih memilih untuk duduk dekat pintu. Setidaknya dengan duduk dekat pintu aku bisa lebih agak tenang.

Akhirnya kami pun berangkat. Aku mencoba untuk menenangkan perasaanku. Tanganku mulai terasa dingin. Dan aku hanya bisa beristighfar dalam hatiku. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terbesit di otakku. Aku melirik ke arah kakak kelasku yang duduk di hadapanku.
“Teh..” Kataku dengan suara pelan.
“Ya?”
“Nanti perjalanannya nanjak-nanjak ga?”  Teteh itu terdiam sejenak. Dalam hati aku menggerutu betapa anehnya pertanyaanku. Semua orang yang ada di angkot tertawa gembira sambil menceritakan lawakan-lawakan mereka. Sementara aku malah nanya hal konyol dengan muka yang tegang.
“Ehm ia.. tapi ga terlalu nanjak ko..”



Fyuuuhhh.. Perkataan teteh tadi membuat hatiku merasa sedikit tenang. Ternyata keteganganku memang hanya bawaan trauma masa kecil ku terhadap jalan yang menanjak. Akhirnya aku pun mencoba untuk senang bersama teman-temanku. Ikut tertawa bersama dan nyanyi2 bersama. Walaupun hatiku masih tetap khawatir, tapi aku terus mengatakan pada diriku. Jalannya ga nanjak banget ko ris..

Perjalanan kami semakin dekat dengan Batu Kuda. Suasana dalam angkot semakin berisik, dan aku kembali terdiam lagi.
“Ssssstttt!!! Jangan berisik nanti ganggu konsentrasi mang angkotnya.” Kata teteh yang duduk di depan.

Seketika keadaan menjadi sunyi. Tak ada yang berbicara ataupun tertawa. Ya, nampaknya kita sudah dekat dengan gunung dan jalannya semakin menanjak dan berkelok-kelok. Duh.. katanya ga nanjak banget, tapi segini mah bagi aku udah nanjak banget.. Keluhku dalam hati. Perasaan khawatirku yang sempat mereda kini memucak lagi saat ku melihat pinggiran jalan adalah jurang. Aku terus beristigfar dalam hatiku. Aku terus melihat jalanan yang semakin menanjak dan berliku. Di depan sana aku sudah melihat tanjakan yang curam. Pak Supir semakin menancapkan gasnya untuk menghadapi tanjakan yang curam itu. Tiba-tiba saat di tengah belokan yang menanjak, mesin angkot itu mati. Keadaan menjadi panik. Pak Supir mencoba untuk menghidupkan mesin namun hasilnya nihil. Aku pun semakin takut dan tegang. Pak Supir akhirnya berteriak. “KELUAR! CEPET KELUAR!!” Aku pun sontak keluar dari angkot itu tanpa memperdulikan barang-barangku yang ada di dalam angkot. Aku dan dua orang temanku yang sudah keluar dari angkot itu mencoba menahan angkot agar tak tergelincir kebawah. Aku pun berteriak dari luar. “TOLONG! TOLONG!.” Tapi nampaknya tak ada yang mendengar teriakanku, walaupun ada warga sekitar yang melihat namun mereka tak berani menolong. Tanganku yang mungil itu tak dapat menahan angkot itu lebih lama. Angkot itu pun tergelincir ke bawah menuju jurang. Temanku yang tadi sempat keluar dari angkot kini terlempar dan terguling ke sisi jalan. Aku mendengar teriakan teman-temanku yang ada di dalam angkot. Aku pun tak tau jurang itu sedalam apa, yang jelas jika angkot itu jatuh kesana pasti akan terguling dan hancur. Pikiranku seketika kacau dan yang ada di benakku adalah.. Apakah teman-temaku akan selamat??

BUK!!!


Terdengar suara yang cukup keras dari sana. Sebuah pohon yang cukup besar telah menahan angkot itu agar tidak masuk jurang. Entah keajaiban apa yang terjadi saat itu. Mesin angkot itu kembali hidup dan Pak Supir membawanya menjauhi jurang. Alhamdulillah .. Namun, ada satu hal yang terlupakan. TEMANKU! YA TEMANKU YANG TERGULING TADI! Aku langsung menghampiri temanku yang sempat jatuh terlempar itu. Untung saja dia hanya luka kecil dan masih dalam keadaan sadar. Aku memberikannya tissue untuk membersihkan tangan dan wajahnya. Sungguh tak di percaya. Kita semua selamat. Beberapa warga sekitar menghampiri kami, mungkin untuk sekedar membantu dan menanyakan keadaan. Ternyata kata warga sekitar memang tanjakan itu dikenal berbahaya karena banyak orang yang mengalami kecelakaan di tanjakan itu. Tanjakan maut, begitulah aku menyebutnya.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami dengan jalan kaki. Karena beberapa dari kami ada yang masih shock dengan kejadian itu. Termasuk aku! Bagaimana tidak? Aku pernah merasakannya saat aku masih kecil. Dan kini Tuhan telah menyelamatkanku kedua kalinya dari peristiwa ini. Ya Allah Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Entah apa yang terjadi pada kita di masa yang akan datang. 

Kalau saja Engkau tak menumbuhkan pohon itu. Kalau saja Engkau tak mengarahkan angkot itu ke pohon. Kalau saja Engkau tak menjadikan pohon itu sebagai penopang angkot kami.. Mungkin saja kami tak akan selamat.. Dan mungkin saja hari itu aku tak bisa melihat senyuman teman-temanku lagi.. Aku sangat sangat bersyukur.. Terimakasih Ya Allah.. Atas segalanya..


-Risa-

Cerita di angkot senin pagi


“Kau tidak akan dapat memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya..hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya..”
Harper Lee
 
Dear Readers and Team...
Ini bisa dibilang my real experience tapi tentunya ditaburin bumbu imajinasi disana-sini biar jadi cerita yang apik. Hope u like it!
***
Waaah. Pasti telat. It’s almost eight a clock. Sial. Mata kuliah pertama jam 08.40 yang dipersembahkan oleh Ibu Diah yang terkenal karena on-time nya. Dispensasi hanya 10 menit itu pun mesti siap di repetin macem-macem. Hufftt. Angkot nya ngetem pulak. Terminal Kebon Kalapa pagi itu cukup ramai tapi sepertinya orang-orang enggan masuk ke angkot Kalapa-Ledeng yang aku tumpangi ini. Ah.
Daripada bengong dan makin risau melihat menit demi menit berlalu, aku iseng melihat-lihat penumpang yang ada dalam angkot saat itu. Nah ini salah satu moment favoritku ber-angkot ria. Selain terkadang mendapatkan percakapan ringan orang-orang yang lumayan buat inspirasi cerpen-cerpenku, aku juga suka iseng menebak-nebak perasaan penumpang dari raut wajahnya. Cukup membantu mengasah Interpersonal Skill-ku. Hihihi.
Let’s start. Aku duduk di pojok kaca besar sebelah kanan yang biasa diisi paksa 7 penumpang. Ini posisi favoritku. Soalnya gak akan keganggu orang yang turun-naik. Well, mood aku hari ini adalah cukup bersahabat kalau saja sekarang masih jam setengah 8. Inget Bu Diah yang lirikan mautnya kalau aku masuk kelas telat bikin mood aku buruk se-buruk-buruknya. Pakaian yang kukenakan hari ini jeans plus kemeja lengan pendek. Nothing special.
Tepat di depankuAda ibu-ibu berumur sekitar 40 tahun dengan wajah sangat mengantuk. Matanya udah 5 watt banget. Ibu itu mengenakan pakaian formal. Kayaknya mau ngantor. Hemm. Biasa aja.
Selanjutnya disebelah Ibu-Ibu ada lelaki muda yang lagi pake headset. Kepalanya mengangguk-angguk ringan mengikuti beat lagu. Umurnya sekitar 19 tahun. Mau kuliah kayak aku nampaknya. Pakaiannya jeans belel khas lelaki muda dengan kaos hitam polos, sepatu converse pendek hitam. Simpel. Less is more. Diliat-liat mirip artis yang itu siapa ya namanya. Oh yayaya. Rio Dewanto. Tapi ini Rio Dewanto versi muda. Manis juga. Lumayan bikin mata agak seger. Hahaha.
Well, mataku nampak terus berkeliling mencari mangsa lain untuk dikomentarin dalam hati. Tepat disebelahku ada gadis muda berambut sebahu. Aku susah memperhatikannya karena dia tepat duduk di sebelahku. Memakai rok dibawah lutut warna coklat kopi. Lalu beberapa kali memandang ke jendela di belakangnya. Resah. Mungkin dia hampir telat kayak aku. Tapi gak ada tanda-tanda dia mau kuliah sih. Maksudnya dia gak seperti bawa buku. Gak bawa tas juga nampaknya. Kulihat sekilas betisnya nampak memar. Hemm. Kenapa ya?
Terus, di sebelah perempuan berambut sebahu itu ada anak SMA lagi haha-hihi dengan temannya yang duduk di sebelah Rio Dewanto versi muda. Tipikal anak-anak SMA pada umumnya deh. Tanpa beban. Ngerumpi masalah segala macem. Berisik. Berdua tapi kayak bertujuh.
Terakhir, tepat di belakang Pak Supir ada Aa-Aa lagi ngeroko. Aku agak susah liat raut wajah dan stelan-nya soalnya agak jauh dari tempat dudukku tapi kayaknya mau kerja gitu. Bajunya semi-formal. Rambutnya disisir rapi ke samping.
Selesei. Jadi di angkot saat itu hanya ada 7 orang. Hufft. 4-3. Masih lama yah menuju 7-5 yang selalu diidam-idamkan sopir angkot. Hiks. Bye-bye Bu Diah.
Tiba-tiba, perempuan sebahu di sebelahku bergeser miring dan sekarang duduk menghadap aku. Aku kaget. Nah sekarang aku bisa melihat raut wajahnya. Raut wajah khawatir.
Trus dia berkata pelan sekali, “Teh, kemarin naik angkot ini?” Aku menggeleng. Jawaban aku antara tidak dan mana-gue-inget.
“Atau teteh naik angkot kalapa-ledeng juga gak kemarin?” Aku menggeleng lagi. Masih kaget aja diajak ngobrol tiba-tiba. Jadi semi bloon kayaknya wajah aku saat itu. Cuma bisa geleng-geleng kepala.
Dia melanjutkan lagi; “Teteh liat suami saya gak?”
“HAH?” suaraku agak kenceng saking surprise nya denger pertanyaan ketiga sang perempuan berambut sebahu. Ya-mana-gue-tau-suami-situ-yang-mana-kenal-juga kagak.
Ibu-ibu di depanku yang lagi nundutan agak kaget juga kayaknya. Melotot sebal ke arahku. Dua anak SMA pun sempat menoleh ke arahku. Percakapan mereka agak terhenti karena ucapan “HAH”ku. Aa-aa di pojok pun sempat menoleh padaku tapi cuek lagi meneruskan merokoknya. Sial. Malu banget. Oh hanya Rio Dewanto versi muda aja yang anteng dan gak menghakimi aku.
Sebelum pertanyaan menjurus ke hal-hal yang lebih absurd, aku buru-buru bilang: “Maaf ya Teh, kemarin saya gak kemana-mana. Gak naek angkot jadinya.” Akhirnya ada jawaban cerdas yang keluar dari mulutku selain geleng-geleng kepala. White lie. Boong demi kebaikan.
Ke-lima penumpang bareng menoleh ke arahku. Wajah mereka antara prihatin dan kaget. Termasuk si Rio Dewanto yang kayaknya udah matiin lagunya di MP3 playernya. Ih orang-orang segitu betenya karena kejadian “HAH” ku tadi ya emang?
Perempuan berambut sebahu itu malah turun dari angkot. Mungkin dia kecewa karena aku gak liat suaminya. Aduh apa sih. Lagian kenapa gak sekalian aja pertanyaannya adalah: “Teteh pacar suami saya ya?” Biar nambah lebih aneh lagi pertanyaannya. Yaaah. Nambah lama dong ngetemnya nih angkot.
Dua anak SMA itu lagi gosipin aku nih kayaknya. Bukannya berburuk sangka tapi lirikan mata mereka yang gak bisa diumpetin nunjukkin objek yang lagi mereka gosipin. Bodo amat. Aku melihat jam tangan sekali lagi. Berharap ada mukjizat tiba-tiba baru jam tujuh, misalnya.
Ibu-ibu di depanku kayaknya udah gak ngantuk lagi nih. Dia lagi ke-gap ngeliatin aku. Aku agak risih dipelototin gitu jadinya. Masih dendam ya bu tadi kebangun gara-gara teriakan aku? Ih jangan salahin aku dong. Salahin perempuan berambut sebahu yang ngajuin pertanyaan-pertanyaan aneh tadi. Untuk meredam kerisihanku, aku membuka novel dan sok-sok membaca. Padahal boro-boro bisa konsen baca. Bu Diah oh Bu Diah. Yang ada malah setiap halaman mendadak bergambar Bu Diah yang lagi bertanduk dan bertaring.
“Neng. Neng.” Ibu-Ibu di depanku beneran gak ngantuk lagi kayaknya. Suaranya kenceng bener. Dia manggil aku? Aku menurunkan novel dari muka ku perlahan dan bersikap se-anggun mungkin.
“Neng…” sekarang tangannya pake acara towel-towel lututku segala.
“Eh, ya Bu?”
“Tadi Neng bicara sama siapa?”
Semua penumpang di angkot menoleh (lagi) padaku dengan tatapan sama prihatinnya dengan Ibu-Ibu di depanku ini. Ibu-ibu yang sedang bertanya pertanyaan aneh keempat di angkot pagi ini. Oh Tidak!
The End

~Naya

Thursday, July 24, 2014

Si Bulu Putih Untuk Sang Aktivis



“Sheila, Bang Yahya ada di ruang BEM nggak?”
“Nina? eh, tumben ke sini? Ada apa?” tanya Sheila.
“gue nyari Bang Yahya nih!! Dia kemana sih?” kata Nina. Dia melemparkan pandangannya ke sudut ruangan BEM. “lue liat dia nggak?”
“oh. Bang Yahya itu lagi demo di depan gedung Sate, Neng!! Lue emangnya nggak tahu?” jawab Sheila enteng.
“ha? Serius lue?! Gue pikir demonya minggu depan!” Nina mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat tanggal berapakah gerangan hari ini.
“wah, gini nih kalau nggak tahu agendanya BEM. Lue gimana sih? Ngakunya pacarnya ketua BEM, masa agenda mahasiswa nomor satu sekampus, lue enggak tahu!! Parah banget! Cewek macam apaan lue! Kenapa Bang Yahya mau sih pacaran sama orang kayak elu?!” tukas Sheila seenaknya tanpa memikirkan perasaan Nina.
Nina berang. Dia tesinggung dengan apa yang diucapkan Sheila. Matanya langsung melotot pada gadis berkulit sawo matang tersebut.
“hei! Maksud lue apa sih? Kenapa jadi elu yang sewot dan menilai gue sebagai cewek yang salah buat Bang Yahya? Apa uru……”
“kalau elu emang pacar yang baik, mestinya lue tahu dong dimana dia, lagi ngapain, apa yang sedang didemo dan diperjuangin. Peduli sedikit kek dengan aktivitas BEM-nya Bang Yahya.” balas Sheila tak kalah ngotot.
Nina speechless.
“setidaknya gue dan Bang Yahya memiliki profesi yang sama, yaitu kami seorang aktivis. Daripada elu, elu cuma fokus sama diri sendiri doang!!” setelah mengatakan hal tersebut, Sheila pergi begitu saja. Dia meninggalkan Nina yang masih merenungi apa inti kalimat Sheila. Diam-diam dia menyesal telah bertanya kepada orang yang salah. Dasar cewek ganjen! gumam Nina dongkol.
Apa yang dikatakan Sheila sedikit ada benarnya. Nina mengakui selama ini dia memang tidak pernah mau memperdulikan aktivitas BEM pacarnya.
Nina adalah mahasiswa jenius yang sehari-hari lebih dikenal sebagai Asisten Dosen untuk mata kuliah Matematika Ekonomi. Sedangkan Bang Yahya, adalah orang yang paling popular dan digandrungi oleh banyak mahasiswa sebagai Ketua BEM.
Bang Yahya pernah meminta Nina untuk mengajarkannya mata kuliah Matematika Ekonomi. Nina pun bersedia membantu. Setelah asistensi berakhir, akhirnya Bang Yahya mencoba mendekati Nina untuk urusan hati. Didukung karakternya sebagai orang Sumatera asli, Bang Yahya to the point tentang perasaannya. Tanpa ragu, Nina pun menerima Bang Yahya. Kabar jalinan kasih dua insan muda tersebut langsung tersebar dan mematahkan hati cewek-cewek sekampus yang naksir sang aktivis.
Nina menatap sebuah kotak cokelat putih yang sedari tadi ditangannya. Makhluk hidup di dalamnya bergerak-gerak seperti minta kebebasan. Nina melirik sedikit dari celah kecil yang dibuatnya pada bagian atas kotak. Si bulu putih itu menatap balik ke arah Nina tanpa mengerti apa yang terjadi di luar kotak.
“Pus, pus, Abang Yahya-nya nggak ada… Kamu jangan sedih ya!” ujar Nina.
Hari ini adalah hari ulang tahun Bang Yahya. Nina tahu betul bahwa pacarnya itu sangat menyukai kucing, apalagi yang berbulu putih bersih. Nina sudah menyiapkan hadiah sederhana itu sejak lama. Tapi kini hatinya “tertampar”. Tanpa sadar airmatanya menetes membasahi kotak sementara si bulu putih semakin bergerak-gerak di dalamnya.
            Nina akhirnya menitipkan kotak tersebut kepada Mas Deni, anggota BEM lain yang bisa dipercayainya. Tak lupa dia mengirimkan pesan singkat selamat ulang tahun untuk Bang Yahya. Dia sadar bahwa dirinya belum bisa menjadi pacar yang baik.
***
            Nina bangkit dari bangku di halte. Belum sempat dia menginjak tangga bus, tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Nina terkejut dan segera berbalik.
            Lelaki berhidung mancung itu mengembangkan senyum manisnya. “sayangku…” ucapnya lembut.
            Nina tak kuasa lagi. Dia menjatuhkan badanya ke pelukan Bang Yahya. “maaf, aku nggak pernah tahu apa saja kegiatan seorang aktivis, Bang!! Jadwal demonya, apa pelanggaran yang sedang diperjuangkan dan …” kata Nina terbata-bata dalam pelukan Bang Yahya. Airmatanya mengalir deras.
            “maaf Bang, aku…hiks..hiks…” Nina terisak sedih. Bang Yahya terdiam. Cinta sungguh ajaib! Ia mampu menaklukkan seorang narator ulung terkulai lemas oleh cinta.
            “seorang aktivis juga nggak pernah tahu jadwalnya Asisten Dosen, sayang!” kata Bang Yahya mengusap rambut Nina lembut.
            “aktivis kayak Abang cuma seneng main sama anak kucing putih doang, apalagi kalau anak kucing lucu kayak gini, Abang betah!!” goda Bang Yahya. “tuh, lihat. Meong…meong…minta dikasih makan…heheheh.”
            “ABANG!!!!!”
            Kedua muda mudi tersebut pun mengalihkan pandangan kepada si pemilik bulu putih yang sedari tadi manja di tangan Bang Yahya. Mereka sepakat memberinya nama Cilo, entah apa hubungannya dengan warna putih bersih si kucing. Bodo amat.
            Dan seekor anak kucing mampu menciptakan kesenangan tanpa memandang profesi. Meong! J
***

Tuesday, July 22, 2014

Kucing Hitam

Kucing Hitam, kucing yang penuh misteri dan dianggap mengandung hal-hal mistis oleh kebanyakan orang. Banyak orang yang bilang kalau kucing hitam itu membawa kesialan pada orang yang melihatnya. Lalu banyak juga yang bilang kucing hitam adalah jelmaan mahluk lain. Bahkan dulu sejarahnya kucing hitam adalah lambang dari kejahatan dan sering menjadi tumbal untuk acara ritual. Sungguh tragis nasib kucing hitam itu..


Walalupun terksesan agak menyeramkan tapi aku punya pengalaman unik dengan kucing hitam. Suatu hari di sore hari, aku dan temanku sedang berjalan menyusuri jalan setapak untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari sebuah rumah kosong. Suara itu membuatku penasaran. Aku mengajak temanku untuk masuk ke rumah kosong itu melalui jendela yang kacanya sudah pecah. Di sebuah kursi yang sudah reot aku melihat dua ekor anak kucing yang mengeong lemas meminta makan. Pemandangan itu membuatku merasa iba. Kebetulan aku dan temanku sangat menyukai kucing. Akhirnya kita menghampiri kucing itu. Sunnguh dua kucing yang unik. Kucing yang satu berwarna putih mulus dan yang satunya lagi berwarna hitam kelam. Mereka meringkuk dan seperti membentuk simbol Yin dan Yang. Temanku sangat bersemangat sekali untuk membawa kucing itu pulang ke rumahnya. Dia menggendong kucing yang berwarna putih. *sebenarnya aku ingin yang warna putih* Akhirnya aku pun menggendong kucing yang berwarna hitam. Sore itu kita membawanya ke rumah dan memutuskan untuk memelihara mereka.


Keesokan harinya aku melihat mata kucing itu sakit. Akhirnya tetehku merebus daun sirih dan meneteskan air rebusannya ke mata kucing itu. Mata kucing itu pun sembuh, dan sejak saat itulah kucing itu mulai akrab denganku. Oh ya aku belum menamai kucing itu. Aku hanya memanggilnya Miaw. Ya aku rasa Miaw juga bisa dijadikan sebuah nama baginya. Hari-hari yang menyenangkan ku lewati bersama Miaw. Hal yang selalu ku ingat adalah saat Miaw selalu menemaniku ke pasar. Dia selalu naik di keranjang sepedaku. Namun sebuah tragedi pernah terjadi saat aku kehilangan keseimbangan lalu jatuh dari sepeda. Miaw kaget bukan main. Sejak saat itu ia tak mau naik sepeda lagi. Tapi, ia tetap menemaniku pergi ke pasar dengan berlari membuntutiku.

Hmm.. Sejak aku memelihara Miaw, tetangga sebelahku  merasa risih padaku. Ternyata tetanggaku itu percaya pada mitos kucing hitam. Ia bilang padaku kalau kucing hitam itu pembawa sial. Tapi, selama aku memelihara Miaw aku merasa biasa saja. Sejak hal itu, aku juga jadi sedikit sedih dan memikirkan kata-kata tetanggaku itu. Akhirnya aku mengadukan hal ini pada Ibuku.
“Mah, katanya kucing hitam itu bawa sial ya?” kataku dengan nada sedih.
“Itukan cuma mitos fa.. Walaupun begitu, kucing hitam itu ya tetep kucing. Ciptaan Allah. Jadi, sesama mahkluk Allah harus saling menyayangi. Lagian di Islam juga ga ada kan yang bilang kalo kucing hitam itu membawa sial?”

Perkataan itulah yang membentuk pola pikirku sekarang terhadap mitos itu. Rasulullah SAW juga dulu pernah memelihara kucing. Beliau juga mengajari kita untuk menyayanginya dan melarang kita untuk menyakitinya. Hal ini juga bukan hanya pada kucing tapi kepada seluruh ciptaan Allah. Jadi bagaimana dengan kalian? Apakah mitos itu benar adanya?

Balik lagi ke Miaw.. Sejak hal itu, aku pun semakin menyayangi Miaw. Tak peduli mitos yang beredar. Aku hanya menganggap Miaw layaknya kucing lainnya. Mungkin lebih spesial karena Miaw telah mengisi hari-hari sepi ku..


Sekarang.. Miaw sudah tak ada.. Semenjak aku pindah rumah secara tidak sengaja *karena ada keperluan mendesak* Aku dan Miaw pun berpisah. Tapi, aku tetap masih ingat bagaimana kenanganku bersama Miaw. Walaupun sekarang aku memelihara kucing hitam lagi yang kebetulan lahir di rumahku. Namanya Ntong dan ia selalu mengingatkan aku dengan Miaw. Hmm semoga Miaw bahagia disana..

Miaw.. Kucing Hitam Pertamaku

Jam Empat Tepat



By: Siti Nurul Hanifah Agustia



Pada postingan kali ini saya mau menceritakan kisah non fiksi tentang kucing. Saya mengambil cerita ini dari pengalaman bapak saya. Kisah ini dimulai saat bapak saya merantau dari Bojonegoro Jawa Timur ke Kota Kembang untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Teknologi Industri ITB. Selayaknya anak rantau, bapak saya kalang kabut mencari rumah yang menyediakan tempat untuk kost mahasiswa. Setelah mencari-cari, akhirnya bapak saya mendapatkan kost di daerah Sekeloa. Kamar kost bapak saya berada di lantai dua. Ruangannya cukup nyaman dan biayanya pas dengan kantong mahasiswa. Di depan kamar ada kamar mandi kecil dan tempat untuk menjemur pakaian.

Bapak saya mulai merapikan barang-barang dan beristirahat sejenak di kamar kost yang hanya berukuran 2x3 meter. Selepas sholat Ashar, jam 4 tepat, bapak saya dikejutkan dengan suara gerombolan kucing yang kelaparan di rumah sebelah kost. Ini adalah peristiwa yang langka bagi bapak saya. Kucing yang meronta meminta makan tidak hanya satu atau dua melainkan puluhan kucing! Kucing tersebut datang berbondong-bondong entah darimana. Bapak saya mencoba menengok kearah jendela dan menebak apa yang sedang terjadi. Kaget dan bingung. Itulah yang dirasakan bapak saya saat itu. Beberapa menit kemudian, dari pintu rumah itu keluarlah sesosok nenek yang berusia sekitar tujuhpuluh tahun sambil membawa karung besar. Bapak saya semakin bingung. Lalu nenek itu membuka karung tersebut. Dan.. apa yang terjadi? Ternyata karung besar itu terisi penuh oleh makanan. Semua makanan itu diberikan pada semua kucing yang kelaparan. Seketika suasana yang sangat riuh berubah menjadi senyap. Yang terdengar hanyalah suara gigi para kucing yang beradu dengan tulang belulang. Semua kucing itu sibuk mengisi perut mereka dengan makanan yang disediakan oleh sang nenek. Setelah sekitar satu jam, semua kucing yang kenyang pergi menghilang entah kemana. Perasaan kaget dan bingung bapak saya terusir oleh kantuk sampai akhirnya bapak saya tertidur dibuai mimpi.

Keesokan harinya terjadi hal yang serupa. Sudah seminggu hal yang sama terus terjadi. Saat itu, rasa penasaran bapak saya sudah tak terbendung lagi. Bapak saya pun mencari informasi ke tetangga sekitar tentang peristiwa kucing yang terjadi setiap hari. Ternyata nenek itu bernama Mak Iwang. Beliau bekerja sebagai karyawan di sebuah rumah makan kecil. Setiap hari beliau mengumpulkan makanan sisa dari piring para pembeli dan memasukkannya ke dalam karung besar. Saya sangat takjub dengan yang beliau lakukan. Seorang nenek renta yang menjadi karyawan rumah makan, setiap hari mengumpulkan makanan sisa dan mengangkutnya sampai ke rumah dan membagikannya pada semua kucing liar. Sungguh tak terbayang pahala yang didapat oleh Mak Iwang dari Allah SWT. Subhanallah.


          
  Setiap hari para kucing berkumpul tepat jam 4 sore di depan rumah Mak Iwang! Rumah yang sederhana, namun dibalik kesederhanaan itu terdapat kemegahan hati Mak Iwang. Kebaikan dan ketulusan hati Mak Iwang dapat membuat para kucing menurut dengan apa yang diperintahkan oleh Mak Iwang. Mak Iwang tidak perlu repot untuk mebagikan semua makanan kepada para kucing. Cukup dengan satu kata, “Diam!”, dari mulut Mak Iwang maka semua kucing itu akan diam. Terkadang terlihat sebersit senyuman di paras Mak Iwang yang renta. Terkadang pula terlihat Mak Iwang bertatapan dengan kucing-kucing seakan mereka sedang melakukan percakapan rahasia.



            Pemandangan seperti itu sekarang udah menjadi biasa dimata bapak saya. Hari itu seperti biasa jam empat tepat Mak Iwang memberi makan pada kucing. Seperti biasa pula kucing-kucing pulang dengan bahagia dan perut kenyang. Namun hari itu menjadi hari yang sangat menyedihkan bagi semua warga yang tinggal disekitar rumah Mak Iwang. Hari itu adalah kesempatan terakhir Mak Iwang untuk memberi makan puluhan kucing jam 4 tepat di depan rumahnya. Pada malam hari itu, Mak Iwang menghembuskan napasnya yang terakhir. Mengeluarkan udara residu yang selama ini tersimpan dalam paru-paru beliau. Warga mengantar beliau ke tempat istirahat yang terakhir pada pagi harinya. Belum habis suara isakan tangis dari para warga dan kerabat, mulai terdengar suara kucing yang berdatangan. Sekarang sudah jam empat tepat! Semua kucing sudah bersiap menyantap hidangan yang disuguhkan oleh Mak Iwang. Sudah hampir satu jam puluhan kucing itu menunggu Mak Iwang keluar dari pintu. Mereka terus mengeong di depan pintu rumah Mak Iwang. Bahkan hingga larut malam, mereka masih setia menunggu. Menunggu Mak Iwang. Malam itu parawarga tidak bisa tidur dengan tenang. Bukan hanya karena suara kucing yang terus bersahutan, tetapi juga karena perasaan mereka yang kacau. Hati mereka terenyuh mendengarnya. Teringat hal yang selalu Mak Iwang lakukan pada jam empat tepat selama beliau hidup. Hari itu bukan hanya warga yang merasa sedih, kucing-kucing pun merasakan hal yang sama. Kucing-kucing itu tetap berdiri di depan pintu rumah Mak Iwang berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, menunggu Mak Iwang. Sampai pada akhirnya kucing-kucing itu pergi satu persatu dengan berat hati.



Tak terasa sudah tiga tahun bapak saya kost disana. Sudah tiga tahun bapak saya menengok kearah jendela melihat kucing yang lahap memakan makanan sisa para pembeli. Sudah tiga tahun pula bapak saya menjadi saksi kebaikan hati Mak Iwang. Sudah tiga tahun. Dan hanya tiga tahun.