Pernah tidak kalian memperhatikan cara
kerja angkutan umum atau biasa dikenal dengan angkot? Bukan cara kerja si mobil
angkotnya, tetapi maksud saya adalah orang-orang di belakang kendaraan roda
empat tersebut. Orang-orang yang sedang ‘berperan’ dalam mengantarkan kita dan
penumpang lainnya dari satu tempat ke tempat yang dituju. Pernahkah kita
menyadari bahwa ada rantai panjang yang sebenarnya tidak kita ketahui
menyangkut uang yang kita serahkan kepada si sopir angkot, alias ongkos angkot?
Jika kita hanya sebagai penikmat layanan umum itu, mungkin tidak pernah
terbesit di pikiran kita untuk menelusuri ‘rantai uang’ yang dimaksud kemana
sebenarnya bermuara, iya kan? Itu kalau kita memang menikmatinya, kalau tidak
menikmati perjalanan oleh angkot, akan lain lagi ceritanya. Tentu secara
gamblang kita akan memukul genderang perang terhadap sebuah profesi, yang
rupanya selalu dibayangi rasa takut ‘kehabisan penghasilan’ itu. Loh kok bisa?
Ya, sebab sebenarnya para sopir angkot
hanyalah manusia-manusia yang tidak luput dari marabahaya: marabahaya tukang
palak/preman dan oknum berseragam lebih tepatnya. Jadi jika kalian merasa bahwa
sopir angkot selalu membuat kalian terlambat ke kampus, ke tempat kerja atau ke
sekolah, terlebih lagi dengan kebiasaannya yang membahayakan nyawa kalian dan
dirundung sebal dengan ngetem
berlama-lama di berbagai titik, itu lebih dikarenakan sebuah alasan klasik,
yaitu: kejar setoran. Namun, dibalik alasan klasik itu, justru kadang-kadang
hak mereka sendiri untuk bisa memberi makan keluarga di rumah dan membiayai
pendidikan putra putri mereka, sebenarnya telah terampas sedemikian rupa.
Kadang-kadang saya berfikir ketika
menggunakan angkot, dimana para sopir harus berhenti pada beberapa titik selama
perjalanan. Entah apa maksudnya, karena hampir di semua tempat persinggahan,
sang sopir sepertinya harus menyerahkan beberapa lembar uang atau recehan hanya
untuk disetor kepada seseorang. Yang
berseragam dan yang berjaket sok seram. Rata-rata tak banyak yang bisa
dilakukan para sopir angkot, kecuali melakukan apa yang seharusnya mereka
lakukan dari waktu ke waktu, dari rute ke rute, atau dari petugas satu ke
petugas yang lainnya. Hal ini saya amati pada beberapa angkot dengan jurusan
yang berbeda, tradisinya sama. Sebagai contoh, ketika saya menggunakan angkot
Sd. Serang-St.Hall, baru saja keluar dari terminal Sadang Serang, sopir sudah
‘wajib’ berhenti pada kurang lebih 4 titik. Antara lain 2 titik di jalan
Terminal Sadang Serang (salah satunya berkedok memberikan air mineral), 1 titik
dihadang di jalan Cikutera Barat dan
satu lagi pada jalan Pahlawan. Diantara empat titik, satu titik dilakoni
oleh seorang petugas berseragam. Belum lagi ketika keluar dari Stasiun Kereta
Api, masih harus berhenti di 2 titik lainnya. Dari kampus menuju tempat kosan,
saya menggunakan angkot berwarna kuning melayani rute Caringin-Dago. Pada
persimpangan jalan Batik Kumeli, sopir angkot harus membayar hingga Rp2000
untuk secarik kertas abal-abal kepada
petugas. Sedangkan setiap angkot biru bertuliskan Dago-Caringin, ketika
melintasi jalan Tubagus Ismail, wajib membayar Rp1000 kepada seorang pemuda
dekil berjaket.
Dari pengamatan itulah, saya pun
tertarik untuk menelusuri, sebenarnya ada hubungan apa antara sopir-sopir
angkot dengan “mereka” (statusnya bagi saya masih belum jelas)? Uang apa
gerangan yang harus diserahkan sopir dan berapa jumlahnya? Wajibkah sopir
melakukan hal tersebut? Bagaimana pengaruhnya dengan penghasilan mereka demi
nafkah keluarga di rumah? Bukankah hak mereka untuk mendapatkan rasa aman di tempat
kerja serta hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak, telah terabaikan? Namun,
poin penting yang ingin saya jabarkan adalah peranan kita, kalian, saya dan
kamu, sebagai pengguna layanan angkot pada umumnya dan sebagai orang terdidik
(mahasiswa) khususnya, dalam menanggapi (hm….bagaimana ya menyebutnya, apakah
fenomena, atau tradisi atau sistem?) pada rantai panjang dari benda yang
bernama ANGKOT dan manusia dibelakangnya, SANG SOPIR! Karena pertanyaan-pertanyaan
itu belum terjawab, maka saya memberi judul tulisan saya ini: “Ketika Hak Sopir
Angkot Terpenuhi, Hak Hajat Hidup Orang Banyak Pun Dapat Terwujud”
Bagi sebagian orang (yang tidak
berkendaraan pribadi) menggantungkan sebagian kesuksesan aktivitasnya kepada
layanan transportasi ini adalah hal yang lumrah. Tidak bisa dipungkiri, dimana
pun daerah dan kotanya, angkot selalu menjadi kendaraan utama masyarakat
setempat. Tidak dibatasi oleh umur, jenis kelamin dan profesi yang disandang
oleh pengguna layanan angkot, ketika mereka disatukan di dalam angkot dan duduk
sama rendah, status mereka menjadi penumpang. Kewajiban penumpang yaitu
membayar ongkos sesuai dengan jarak yang telah mereka tempuh. Sedangkan sopir
berkewajiban mengantarkan penumpang ke tempat yang dituju dengan pelayanana
yang baik, menjaga rasa aman dan memberikan kenyamanan selama perjalanan. Itu
kalau secara teori, tetapi yang terjadi di lapangan jauh dari hal-hal yang
diinginkan penumpang. Malah buruknya, tak jarang sopir angkot semena-mena
melanggar kewajibannya seperti mengambil ongkos penumpang berlebihan (apabila
penumpangnya membayar dengan uang ‘besar’, bukan uang pas) dan memperlakukan
penumpang seperti barang yang bisa ditumpuk di ruangan kecil.
Kita kembali ke alasan klasik di atas,
kejar setoran. Mengapa kejar setoran menjadi senjata andalan para sopir dalam
beralasan? Itu karena mereka harus membayar kepada pemilik angkot dan
preman-preman atau tukang palak yang mereka temui di jalan. Kalau tidak setor
kepada preman/tukang palak, siap-siap saja jalur angkotnya tidak akan aman.
Karena preman/tukang palak ngakunya bisa
menjamin keamanan sehingga sopir angkot bisa mengambil penumpang di daerah
mereka. Kalau tidak mau melaksanakan (kewajiban) tersebut, bersiaplah sopir
angkot pulang dengan tangan kosong karena tidak akan mendapatkan penumpang sama
sekali dan keselamatan angkotnya akan terancam.
Selanjutnya mengapa preman/tukang palak
butuh uang dari sopir angkot dalam jumlah banyak? Itu karena mereka harus
setoran ke aparat. Wajar saja, aparat kan bisa dibilang memiliki gaji teramat
kecil. Kalau tidak ‘selip sana selip sini’, mereka mana bisa memberi makan
anggota keluarga. Di dalam dunia baku, hal tersebut dipahami masyarakat sebagai
Pungli alias Pungutan Liar dan angkot salah satu daftar sasaran empuk.
Berbicara pungli, para sopir akan akrab dengan berbagai jenis pungli dan tempat
kejadiannya, antara lain pungli dalam mengurus bukti laik jalan bagi kendaraan
umum/barang, pungli berkedok retribusi terminal, ketika mengurus SIM, STNK dan
sejenisnya, serta pungli ketika harus mendapatkan izin trayek. Masalah pungli
oleh petugas dari Dinas Perhubungan dan preman bukan rahasia lagi. Di wilayah
Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja dengan mudah dapat dilihat
dengan mata telanjang. Tidak hanya di terminal-terminal, tetapi juga di
berbagai persimpangan jalan, di tempat-tempat tertentu petugas dengan pakaian
dinas, bermodalkan secarik kertas, secara santai memetik pungutan dari angkutan
umum. Tak jarang kegiatan ‘menguntip’itu menimbulkan kemacetan panjang karena
dilakukan di dekat persimpangan jalan.
Satu lagi jenis pungli yang biasanya
membuat saya sering mengerutkan kening yaitu istilah timer angkot. Dari hasil
pengamatan saya, timer angkot ini diperankan oleh ‘orang’ yang sering mencatat
di atas kertas bekas bungkus pelapis rokok, potongan kardus atau setengah
potong ukuran kertas folio. Model lain saya temukan dimana ‘orang’ itu
memberikan air mineral dan lembaran kertas (tidak resmi) karena bukan dari
Dispenda yang notabene tidak ada artinya bagi sopir. Masih untung jika
kertasnya bisa dimanfaatkan setidaknya untuk mengganjal dashboard, kalau tidak, jadilah sampah-sampah kertas yang
berceceran di mobil atau dibuang sembarangan.
Merajalelanya pungutan liat saat
pengurusan KIR atau bukti jalan bagi angkutan umum/barang itu sepertinya seragam,
untuk seluruh Nusantara. Di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau
lainnya, keluhan sama sering mencuat, intinya tempat-tempat KIR dijadikan oknum
Dinas Perhubungan (daerah) untuk menguntungkan diri sendiri. Yang membedakan
hanya besar kecilnya pungli. “Untuk
mengurus KIR biasanya ada di 2 tempat, di Ujung Menteng Bekasi dan di
Jagakarsa, dan di sana banyak punglinya.”kata Hari (50), seorang sopir Mikrolet
M01 trayek Kp Melayu-Senen (Sumber: www.detiknews.com).
Di daerah Garut, bahkan Kepala Dinas Perhubungannya, Hilman Farid mengungkapkan
bahwa pihaknya tidak memungkiri jika saat ini masih terjadi pungutan liar oleh
oknum anggkotanya terhadap kendaraan umum/barang (Sumber: www.rribandung.info). Hal ini juga berlaku di Makasar, dimana Koordinator
Asosiasi Pemilik dan Sopir Angkutan Kota Makassar (Aspim) Basdir memprotes
adanya ketidaksesuaian biaya ketika mengurus perpanjangan izin trayek yang
dinilai sangat memberatkan para pemilik dan sopir (Sumber: www.sulawesigis.org).
Wah, wah, itu baru beberapa orang saja
yang buka mulut, bagaimana jika ternyata semua profesi sopir menggunakan hak
bersuara mereka secara blak-blakan, akan terlihat betapa masalah pungli dan
turunannya itu memang menjadi momok yang menyengsarakan dan bisa mewabah
seperti penyakit cacar. Iihhgg…ngeri juga membayangkannya! Padahal ini sering
kali dipandang sepele sebelah mata. Kata ibu saya, dimana-mana penyakit jenis
apapun tidak akan baik, termasuk penyakit perampasan hak.
Namun, saya tidak akan banyak
menganalisa mengenai pungutan liar terkait retribusi KIR (surat layak jalan) dan
izin trayek sebab sebuah hembusan angin, dimana keduanya telah dihapuskan, cukup
melegakan sesak nafas para sopir dan pemilik armada angkutan umum. Pasalnya
beberapa daerah, seperti Jakarta dan Tangerang dan sejumlah daerah lainnya di
Indonesia, telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Dinas
Perhubungan, Organda dan Kepolisian untuk menyelasaikan masalah ini. Dimana,
Firman S, selaku Kasi Angkutan Darat Dinas Perhubungan, Komunikasi dan
Informasi (Dishubkominfo) kabupaten Tangerang, mengatakan pihaknya telah
melakukan penertiban secara terpadu terhadap angkutan liar yang melanggar
aturan resmi dan pungutan liar pada 17 Februari 2010 lalu (Sumber: www.republika.co.id/berita).
Di tempat terpisah,
ratusan sopir angkutan umum dari berbagai trayek (di Tangerang) melakukan aksi
unjuk rasa di Kantor Bupati Tangerang yang menuntut upaya Pemkab Tangerang
untuk mengatasi masalah pungli, pada Senin 05 April 2010. Sekda Kabupaten
Tangerang, Hermasnyah, mengatakan bahwa masalah transportasi yang terjadi di
kabupaten Tangerang memang sudah sangat parah. Namun, Ia berjanji akan segera
menindaklanjuti tuntutan dari para sopir angkutan umum tersebut (Sumber: www.republika.co.id).
Sedangkan
bagi Pemprov DKI, keputusan penghapusan tiga biaya (retribusi biaya KIR, izin trayek, dan pungutan terminal
(emplasemen) untuk
"menyehatkan" angkutan umum itu merupakan langkah besar yang penuh
risiko. Apalagi penghapusan itu menimbulkan konsekuensi berkurangnya pendapatan
asli daerah (PAD) sebesar Rp 7,3 miliar yang sebelumnya diterima dari biaya
izin kir dan emplasemen (Sumber: www.suarakarya-online.com).
Kembali kepada inti analisa saya mengenai pungutan liar di jalan
raya langsung yang telah merampas hak sopir angkot. Titik fokusnya adalah
perampasan atas hak untuk mendapatkan rasa aman dalam melakukan pekerjaan
(turunan dari hak untuk mendapatkan pekerjaan) dan berpotensi dalam
menghilangkan hak berupa jumlah pendapatan yang (seharusnya) diterima sebagai
mana mestinya. Kecil tapi krusial!
Bahkan kita sebagai konsumen angkot sering kali melupakan pelanggaran yang
dialami para sopir.
Tahukah kalian semua berapa jumlah uang yang terbuang akibat
pungli? Mencapai Rp14 triliun dan 30% dari biaya operasional perusahaan
angkutan (seperti yang dikatakan Murphy Hutagalung, Ketua Umum Organisasi Pengusaha
Angkutan Darat (Organda) disela-sela syukuran Ulang Tahun Organda ke-45, di
Jakarta 2007. Sumber: www.majalahtrust.com) Hebat bukan? Begini hitungannya. Saat ini ada sekitar
empat juta angkutan umum di Indonesia. bila setiap hari para sopir harus
merogoh “jatah preman” sekitar Rp10 ribu, uang yang menguap di jalanan mencapai
Rp 40 miliar per hari. Bila dalam setahun ada 350 hari, maka uang yang hilang
di jalanan jumlahnya mencapai Rp 14 triliun per tahun (Sumber: www.majalahtrust.com).
Pungutan liar dapat menyebabkan beberapa hal. Pertama, pungli
berdampak pada kenyamanan dan keselamatan, karena awak angkot dikejar setoran
yang tinggi di satu pihak dan wajib membayar pungutan di pihak lain, maka tak
jarang sopir mengangkut penumpang melebihi kapasitas sebagai pengobatnya.
Selain itu, dana yang seharusnya untuk pemeliharaan disedot untuk pungli
sehingga pemeliharaan terabaikan dan tidak bisa membeli onderdil atau
mereparasi bagian kendaraan yang sudah rusak. Terabainya pemeliharaan dapat
mengancam keselamatan awak angkutan maupun penumpang berupa kecelakaan. Ketiga,
pungli memaksa tarif yang bebannya dipikul penumpang, demi menutupi biaya
operasional, padahal penumpang angkot mayoritas adalah golongan miskin.
Keempat, pungli juga dapat menurunkan kinerja angkutan umum. Oleh karena beban
ekonomi dan psikologis bagi awak angkutan umum sangat tinggi, yaitu di satu
sisi harus memenuhi setoran, tapi di sisi lain digencet oleh preman/tukang
palak/aparat untuk membayar upeti dan tidak aman dalam bekerja. Maka
konsekuensinya pelayanan terhadap penumpang buruk, dan karena pelayanannya
buruk, maka lama-lama kinerjanya pun menurun, karena banyak penumpang yang
meninggalkan angkot.
Ketika
hak mereka untuk mendapatkan pendapatan sebagaimana mestinya terampas, secara
tidak langsung akan merampas hak-hak anggota keluarganya juga. Anak-anak para
sopir akan kesulitan di dalam jalur pendidikannya, tidak mampu belajar ke
jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat membeli peralatan sekolah dan akhirnya
harus berhenti sekolah. Selain itu, mereka pun akan kekurangan makanan yang
bergizi dikarenakan istri tidak bisa berbelanja kebutuhan dapur sebagaimana mestinya. Itu baru gambaran untuk satu kepala keluarga
yang bekerja sebagai sopir, di Indonesia ada empat juta angkot, jadi tak heran
bila kebanyakan profesi angkot tidak bisa hidup layak.
Lantas apa yang bisa kita lakukan melihat sistem ini? (akhirnya
saya menyebutnya sebagai sistem), sebagai penumpang dan sebagai mahasiswa. Tak
banyak yang dapat kita lakukan karena ini memang sistem, yang mana sistem ini
telah tertanam kuat di masyarakat per-angkot-an.
Namun jika boleh membandingkan, angkot di tempat saya tinggal sekarang
(Bandung) dengan tempat saya dibesarkan dulu (Parepare, Provinsi Sulawesi
Selatan), keadaannya berbeda sekali. Angkot di sana disebut pete-pete dan berwarna kuning ngejreng. Soal layanan, jangan ditanya,
sangat nyaman. Ngetem adalah hal yang tidak pernah saya temui dan disepanjang
jalannya tak seorang pun berjaket hitam atau petugas mengganggu kelancaran pete-pete. Ini bukan soal besar kecilnya
sebuah kota, bukan tentang banyak sedikitnya trek angkot dan tidak menyoal
jumlah penumpang di dalam perbandingan tersebut. Hanya saja saya heran mengapa pete-pete bisa membuat saya jatuh cinta
dan menikmatinya sedangkan angkot Bandung membuat saya sebal.
Di sana sistemnya jelas. Setiap pangkalan pete-petenya pun jelas termasuk jumlah kendaraan dan treknya. Rasa
aman para sopir dalam mengemudi juga terjamin. Di sana tidak adanya uang yang
dibuang-buang untuk pungli, sehingga pendapatan mereka pun terbilang lumayan.
Selain itu kendaraannya juga dalam keadaan sehat wal’afiat alias sangat baik.
Bahkan jarang sekali pete-pete yang
terlihat rusak. Kejar Setoran? Santai. Di sana para sopir tidak perlu bermain
adrenalin di tengah jalan. Mereka lebih senang bekerja secara santai tapi
sukses. Akibatnya, penumpang tenang-sopir senang.
Pada umumnya, sebagai penumpang atau masyarakat umum, yang bisa
dilakukan hanyalah melaporkan kepada pemerintah untuk menghapuskan pungli,
kemudian melaporkan, selanjutnya melaporkan dan melaporkan. Tindakan tersebut
dilakukan dengan maksud mengembalikan hak para sopir di tempat semula. Melaporkan
preman-preman petugas pelaku pungli kepada pihak yang berwenang. Lagipula kita
jangan tinggal diam jika si preman kebetulan bermukim di lingkungan kita,
laporkan saja kepada pejabat setempat setingkat RT, RW, Lurah bahkan Camat.
Sebagai mahasiswa sekaligus sebagai pembela hak-hak sopir angkot,
kita pun bisa berdiri pada barisan terdepan atas masalah ini. Caranya dengan
membuka mata bahwa ada ‘sistem rusak’ pada transportasi darat ini dan harus
dibersihkan. Melakukan pengamatan dan penelitian terkait pungutan liar adalah
salah satu upaya tersebut. Kita tidak boleh cuek dan acuh penyakit yang menimpa
angkot ini. Sebagai orang terdidik, seharusnya kita bisa lebih sensitif dalam
menerima pelayanan umum dan peka atas sistem di belakangnya. Berupa essay
seperti ini, misalnya. Dimana kita mengangkat ke permukaan kasus yang berakar
ini, bukan karena bapak kita seorang sopir angkot sehingga kita merasakan
haknya yang terampas, tetapi karena kita memang peduli dengan profesi ini. Kita
tidak senang melihat preman-preman dan petugas yang mendapatkan ‘uang ajaib’,
kita merasa prihatin dengan nasib sopir dan terlebih lagi kita sebagai orang
yang merasakan dampak langsung yang ditimbulkan adanya pungli atau palak, yaitu
ketidaknyamanan.
Essay ini saya anggap sebagai pioneer
dalam membuka mata rekan-rekan mahasiswa di seluruh Nusantara. Dimulai dari
ketidak puasan saya terhadap angkot-angkot di Kota Bandung dibandingkan pete-pete di Parepare, berangkatlah
tulisan ini sebagai wujud kepedulian saya atas hak sopir angkot. Sangat tidak
mungkin akan lahir essay dan tulisan lainnya dalam berbagai bentuk mengenai
topik yang sama kedepannya. Dari essay inilah, dapat kita jadikan sebagai referensi
untuk melaporkan masalah pungli kepada pemerintah. Bermanfaat sekali jika
mahasiswa mulai peka atas masalah kecil seperti ini di masyarakat dan bukan
justru terlalu mengabaikannya. Sebab dimulai dari kepedulian dan keprihatinan
ini, akan terbentuk mental-mental yang lebih memikirkan hak-hak orang lain
jikalau kita telah menjadi bagian dalam sebuah sistem transportasi di negeri
ini.
Suatu hari siapa yang akan meramalkan bahwa rekan-rekan mahasiswa siapa
tahu akan menjadi stakeholder atau
bekerja pada Dinas Perhubungan (daerah), dan bergelut dengan dunia angkutan
darat seperti angkot. Siapa yang dapat menyangka bahwa justru di tangan kita, sistem
pungli dan turunannya akan terhapuskan secara menyeluruh. Tidak ada preman dan
oknum, tidak ada pungli dan tidak ada perampasan hak. Angkot bekerja dengan baik
serta merasa aman, pendapatan meningkat dan penumpang pun akan semakin gemar
menggunakan angkot. Terlebih lagi, anggota keluarga para sopir akan merasakan
faedah dari pendapatan ayah/bapak mereka untuk melangsungkan kehidupan. Hidup
mahasiswa!
***
REFERENSI:
http://anggityuwono.wordpress.com/2010/06/20/nasib-supir-angkot/
Nasib
Sopir Angkot
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010. 10.00 WIB
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=220938
Bebas
Biaya, Cara DKI Menyehatkan Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010
http://ibuseno.multiply.com/journal/item/336/Timer_Angkot
Timer
Angkot
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010. 12.00 WIB
http://www.detiknews.com/read/2009/02/20/144446/1087992/10/aduh-pungli-menggila-kala-urus-izin-angkutan-umum
Aduh,
Pungli Menggila Kala Urus Izin Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 12 juli 2010
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/04/05/109574-ratusan-sopir-angkutan-umum-demo-bupati-tangerang
Ratusan
Sopir Angkutan Umum Demo Bupati Tangerang
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010
http://instran.org/index.php?option=com_content&view=article&id=111:melihat-kinerja-departemen-perhubungan&catid=25:front-page&Itemid=1&lang=en
Melihat
Kinerja Departemen Perhubungan
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010
http://www.rribandung.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2286
Kepala
Dinas Perhubungan Garut Akui Anggotanya Lakukan Pungli
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010
http://talking-2.blogspot.com/2009/09/soal-polemik-angkutan-umum.html
Soal
Polemik Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010
http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/1193.php
Gembos
Akibat Pungli
Tanggal pengambilan data: 10 Juli 2010
by: @iicoet