Friday, August 1, 2014

Kecil, Keras Dan Doyong




Bête bin malu deh hari ini ! Bahkan rasanya, berdiam diri di kamar mandi selama 2 hari 3 malam tidak akan cukup untuk mengobati rasa malu saya. Ini semua gara-gara sopir angkot dan tempat duduk kayu pendek itu. Uhg!

Sore itu saya terburu-buru berangkat ke gedung RRI Bandung untuk menghadiri kegiatan rutin setiap minggunya yaitu RRI English Conversation Community. Saya pun segera berlari menuju gerbang kosan sambil menenteng sepatu putih karet kesukaan saya. Minggu ini giliran saya menjadi programmer di sana. Maka saya pun merasa tidak enak kalau sampai datang terlambat. Biasanya saya menggunakan angkutan umum, yaitu angkot berwarna hijau tulisan Sadang Serang-St.Hall untuk sampai di tempat tujuan. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4.10 sore pas, sedangkan acara telah dimulai sejak pukul 4.00.  Crap! Terbayang sudah kekaretan jam kedatangan saya yang molor beberapa menit. 

Setelah mendapatkan angkot yang saya cari, saya pun tercengang dengan isi dari kendaraan roda 4 tersebut, penumpangnya PENUH !!! Owalah, dimana saya akan duduk ? Namun, karena terburu-buru, saya langung naik saja karena dikejar waktu. Sialnya, saya kebagian tempat duduk di kursi yang paling tidak nyaman, yaitu kursi kecil tepat di depan pintu angkot, dimana saya harus menghadap ke bagian belakang angkot dan menonton semua gerak gerik penumpang yang lain, terkenal sebagai kursi cadangan. Sungguh menyebalkan! Masih mending kalau ada cowok yang bisa dikecengin sebagai pelipur lara, ini malah ibu-ibu semua lengkap dengan anak-anaknya yang pada berkeringat. Sumpah! Kondisinya saat itu terbilang ‘paling bau’ untuk ukuran angkot di kota besar seperti Bandung, dimana angkot yang ‘cukup bau’ adalah ketika saya masih duduk di bangku SMU di Parepare, sebuah kota kecil di provinsi Sul-Sel, dan setiap pulang sekolah, semua anak sekolahan seperti berlomba memamerkan ‘kebauannya’ satu ruang angkot dan saya harus bertahan pada saat itu sebagai pemenang ‘penahan bau penumpang angkot terbaik’. Hiyaks!

Saya sebenarnya adalah tipe pemilih dalam hal angkot. Sebab tidak semua angkutan umum di mana pun tempatnya, mampu memberikan pelayanan yang diharapkan penumpang, iya kan ? Mana lagi kalau si angkot melakukan kebiasaannya yang membuat saya ingin garuk-garuk tanah karena kesal, ngetem lama. Uhg! Seperti saat itu, walaupun kondisi angkot sudah penuh sesak, masih saja dipaksain masuk penumpang yang lain. Yang ada malah kumpulan wajah-wajah pundung ibu-ibu karena harus memangku anaknya beberapa orang dan juga penumpang lain yang kudu ‘memadatkan’ pinggul dan pantatnya demi berbagi tempat duduk dengan penumpang yang baru naik. Saya pun ternyata mau tidak mau harus berbagi bangku pendek, kecil, menyakitkan, dan doyong dengan seorang bapak yang badannya hampir 2 kali badan saya. Huuuaaaa…kebayang dong !

Selama perjalanan, saya membaca kembali bahan diskusi yang akan saya berikan kepada teman-teman di komunitas nanti. Sedang asyiknya saya bertatapan dengan beberapa lembar kertas HVS di tangan, tiba-tiba si sopir angkot mengerem mendadak. Gubrak ! semua badan penumpang tersungkur ke arah depan angkot, bahkan ada beberapa anak kecil yang kejedot dengan penumpang lainnya. Sedangkan kondisi punggung saya yang harus terbentur hebat dengan besi yang terpasang tepat di belakang sang sopir menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah tersebut (hehehe....lebay J ). Sakit pun tak dapat saya pungkiri, rasanya tulang-tulang belakang saya nyeri. Kontan saja, para penumpang memasang wajah cemberut tingkat tinggi kepada sopir, tapi dengan tampang merasa bersalah, si sopir justru pura-pura melemparkan kemarahannya kepada angkot lain yang memasaknya mengerem mendadak.

Setelah itu, gas kembali ditancap oleh sang sopir. Namun entah karena ikutan kesal jadi kakinya terlalu kuat menginjak gas, sehingga yang terlihat selanjutnya adalah badan pemumpang yang condong ke bagian belakang angkot secara serentak bagaikan pohon kelapa di pesisir pantai yang diterpa angin laut. Hihihi…Tetapi saya justru harus mengalami gerakan yang berbeda dengan para ibu-ibu, yaitu saya tersungkur hebat ke bagian depan saya dan harus menanggung malu karena status saya pada saat itu adalah menyentuh ‘lantai’ angkot. Crap! Kertas-kertas saya pun harus ikut berjatuhan. Bukan main malu dan merahnya wajah saya kala itu. Tetapi untuk menunjukkan kehebatan saya sebagai orang Sumatera (ha? nyambungnya dimana??), saya pun bangkit dan memunguti kertas-kertas saya seperti saya mengumpulkan harga diri yang tercecer di sana-sini termasuk yang terselip di kaki penumpang bersepatu ceper.

Saya pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali kembali menikmati tempat duduk jelek itu dan sopir angkot kembali menikmati pekerjaannya. Saya terjatuh karena ternyata kursinya tidak terpasang kuat alias doyong, jadi pantas saja saya harus menjadi badut angkot untuk beberapa detik. Memang sih hanya beberapa detik, tapi malunya beberapa tahun baru bisa sembuh !

Seharusnya tempat duduk cadangan yang disediakan sopir angkot harus yang kuat, nyaman dan sama empuknya dengan tempat duduk utama kalau perlu modelnya pun jangan terlalu kecil. Jangan mentang-mentang hanya cadangan, sehingga yang disediakan adalah kursi yang jelek dan doyong serta terbuat dari kayu keras sehingga penumpang seperti saya harus merasakan sakit beberapa saat setelah turun dari angkot itu. Semua penumpang kan harus membayar sesuai dengan jarak yang ditempuh penumpang walaupun harus duduk di kursi cadangan jadi berhak mendapatkan kenyaman yang sama pula. Sopir angkot pun bisa menambahkan semacam pegangan kecil di kedua sisi kursi cadangan tersebut agar penumpang tidak tersungkur apabila sang sopir angkot terpaksa harus melakukan beberapa ‘aksi’ hebatnya dalam perjalanan. 

Selain itu, sopir angkot bisa menambahkan semacam pengharum ruangan yang membantu dalam mengusir bau tak sedap yang ‘diproduksi’ para penumpang misalnya Stella yang berkemasan sachet, jangan hanya diletakkan pada bagian depan sang sopir saja, tetapi juga pada bagian yang paling banyak jumlah penumpangnya, yaitu 6-5 pada kedua sisi. Ya, walapun angkot tidak memiliki AC, tetapi setidaknya angin bisa membantu penyebaran pengharum ruangan tersebut ke segala arah dengan menggantunya di atap angkot. Jadi bagi penumpang yang tidak kuat dengan atmosfir angkot bisa mencium kesegaran pengharum walaupun hanya sesaat, betul kan?

Setelah membayar Rp2.500 kepada si empunya angkot, saya pun segera berlari menuju gedung RRI Bandung sambil mengeluarkan tisu basah dari dalam tas. Niatnya untuk membersihkan telapak tangan yang terasa gatal dan tanpa sadar ternyata ada benda cokelat lunak menempel di tangan saya. Otak saya langsung saja mensugesti bahwa itu adalah tanah liat dari lantai angkot. “ARRRGHHH” kontan saja saya langsung berlari mencari kamar mandi ataupin pancuran air untuk membersihkannya. 

Sebuah saran untuk para sopir angkot yang terhormat, janganlah lupa untuk membersihkan lantai angkotnya minimal 2 kali seminggu agar tidak ada benda-benda yang tidak diinginkan seperti yang saya temui sore itu. Saya hanya bisa menarik napas panjang sebelum akhirnya saya larut dalam acara komunitas sore itu dan mencoba menutup mulut atas apa yang baru saja saya alami. Hal itu demi menjaga harga diri saya. Huft !


By: @iicoet          

Ketika Hak Sopir Angkot Terpenuhi, Hak Hajat Hidup Orang Banyak Pun Dapat Terwujud





Pernah tidak kalian memperhatikan cara kerja angkutan umum atau biasa dikenal dengan angkot? Bukan cara kerja si mobil angkotnya, tetapi maksud saya adalah orang-orang di belakang kendaraan roda empat tersebut. Orang-orang yang sedang ‘berperan’ dalam mengantarkan kita dan penumpang lainnya dari satu tempat ke tempat yang dituju. Pernahkah kita menyadari bahwa ada rantai panjang yang sebenarnya tidak kita ketahui menyangkut uang yang kita serahkan kepada si sopir angkot, alias ongkos angkot? Jika kita hanya sebagai penikmat layanan umum itu, mungkin tidak pernah terbesit di pikiran kita untuk menelusuri ‘rantai uang’ yang dimaksud kemana sebenarnya bermuara, iya kan? Itu kalau kita memang menikmatinya, kalau tidak menikmati perjalanan oleh angkot, akan lain lagi ceritanya. Tentu secara gamblang kita akan memukul genderang perang terhadap sebuah profesi, yang rupanya selalu dibayangi rasa takut ‘kehabisan penghasilan’ itu. Loh kok bisa?

Ya, sebab sebenarnya para sopir angkot hanyalah manusia-manusia yang tidak luput dari marabahaya: marabahaya tukang palak/preman dan oknum berseragam lebih tepatnya. Jadi jika kalian merasa bahwa sopir angkot selalu membuat kalian terlambat ke kampus, ke tempat kerja atau ke sekolah, terlebih lagi dengan kebiasaannya yang membahayakan nyawa kalian dan dirundung sebal dengan ngetem berlama-lama di berbagai titik, itu lebih dikarenakan sebuah alasan klasik, yaitu: kejar setoran. Namun, dibalik alasan klasik itu, justru kadang-kadang hak mereka sendiri untuk bisa memberi makan keluarga di rumah dan membiayai pendidikan putra putri mereka, sebenarnya telah terampas sedemikian rupa.

Kadang-kadang saya berfikir ketika menggunakan angkot, dimana para sopir harus berhenti pada beberapa titik selama perjalanan. Entah apa maksudnya, karena hampir di semua tempat persinggahan, sang sopir sepertinya harus menyerahkan beberapa lembar uang atau recehan hanya untuk disetor kepada seseorang. Yang berseragam dan yang berjaket sok seram. Rata-rata tak banyak yang bisa dilakukan para sopir angkot, kecuali melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dari waktu ke waktu, dari rute ke rute, atau dari petugas satu ke petugas yang lainnya. Hal ini saya amati pada beberapa angkot dengan jurusan yang berbeda, tradisinya sama. Sebagai contoh, ketika saya menggunakan angkot Sd. Serang-St.Hall, baru saja keluar dari terminal Sadang Serang, sopir sudah ‘wajib’ berhenti pada kurang lebih 4 titik. Antara lain 2 titik di jalan Terminal Sadang Serang (salah satunya berkedok memberikan air mineral), 1 titik dihadang di jalan Cikutera Barat dan  satu lagi pada jalan Pahlawan. Diantara empat titik, satu titik dilakoni oleh seorang petugas berseragam. Belum lagi ketika keluar dari Stasiun Kereta Api, masih harus berhenti di 2 titik lainnya. Dari kampus menuju tempat kosan, saya menggunakan angkot berwarna kuning melayani rute Caringin-Dago. Pada persimpangan jalan Batik Kumeli, sopir angkot harus membayar hingga Rp2000 untuk secarik kertas abal-abal kepada petugas. Sedangkan setiap angkot biru bertuliskan Dago-Caringin, ketika melintasi jalan Tubagus Ismail, wajib membayar Rp1000 kepada seorang pemuda dekil berjaket. 

Dari pengamatan itulah, saya pun tertarik untuk menelusuri, sebenarnya ada hubungan apa antara sopir-sopir angkot dengan “mereka” (statusnya bagi saya masih belum jelas)? Uang apa gerangan yang harus diserahkan sopir dan berapa jumlahnya? Wajibkah sopir melakukan hal tersebut? Bagaimana pengaruhnya dengan penghasilan mereka demi nafkah keluarga di rumah? Bukankah hak mereka untuk mendapatkan rasa aman di tempat kerja serta hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak, telah terabaikan? Namun, poin penting yang ingin saya jabarkan adalah peranan kita, kalian, saya dan kamu, sebagai pengguna layanan angkot pada umumnya dan sebagai orang terdidik (mahasiswa) khususnya, dalam menanggapi (hm….bagaimana ya menyebutnya, apakah fenomena, atau tradisi atau sistem?) pada rantai panjang dari benda yang bernama ANGKOT dan manusia dibelakangnya, SANG SOPIR! Karena pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab, maka saya memberi judul tulisan saya ini: “Ketika Hak Sopir Angkot Terpenuhi, Hak Hajat Hidup Orang Banyak Pun Dapat Terwujud”

Bagi sebagian orang (yang tidak berkendaraan pribadi) menggantungkan sebagian kesuksesan aktivitasnya kepada layanan transportasi ini adalah hal yang lumrah. Tidak bisa dipungkiri, dimana pun daerah dan kotanya, angkot selalu menjadi kendaraan utama masyarakat setempat. Tidak dibatasi oleh umur, jenis kelamin dan profesi yang disandang oleh pengguna layanan angkot, ketika mereka disatukan di dalam angkot dan duduk sama rendah, status mereka menjadi penumpang. Kewajiban penumpang yaitu membayar ongkos sesuai dengan jarak yang telah mereka tempuh. Sedangkan sopir berkewajiban mengantarkan penumpang ke tempat yang dituju dengan pelayanana yang baik, menjaga rasa aman dan memberikan kenyamanan selama perjalanan. Itu kalau secara teori, tetapi yang terjadi di lapangan jauh dari hal-hal yang diinginkan penumpang. Malah buruknya, tak jarang sopir angkot semena-mena melanggar kewajibannya seperti mengambil ongkos penumpang berlebihan (apabila penumpangnya membayar dengan uang ‘besar’, bukan uang pas) dan memperlakukan penumpang seperti barang yang bisa ditumpuk di ruangan kecil.

Kita kembali ke alasan klasik di atas, kejar setoran. Mengapa kejar setoran menjadi senjata andalan para sopir dalam beralasan? Itu karena mereka harus membayar kepada pemilik angkot dan preman-preman atau tukang palak yang mereka temui di jalan. Kalau tidak setor kepada preman/tukang palak, siap-siap saja jalur angkotnya tidak akan aman. Karena preman/tukang palak ngakunya bisa menjamin keamanan sehingga sopir angkot bisa mengambil penumpang di daerah mereka. Kalau tidak mau melaksanakan (kewajiban) tersebut, bersiaplah sopir angkot pulang dengan tangan kosong karena tidak akan mendapatkan penumpang sama sekali dan keselamatan angkotnya akan terancam. 

Selanjutnya mengapa preman/tukang palak butuh uang dari sopir angkot dalam jumlah banyak? Itu karena mereka harus setoran ke aparat. Wajar saja, aparat kan bisa dibilang memiliki gaji teramat kecil. Kalau tidak ‘selip sana selip sini’, mereka mana bisa memberi makan anggota keluarga. Di dalam dunia baku, hal tersebut dipahami masyarakat sebagai Pungli alias Pungutan Liar dan angkot salah satu daftar sasaran empuk. Berbicara pungli, para sopir akan akrab dengan berbagai jenis pungli dan tempat kejadiannya, antara lain pungli dalam mengurus bukti laik jalan bagi kendaraan umum/barang, pungli berkedok retribusi terminal, ketika mengurus SIM, STNK dan sejenisnya, serta pungli ketika harus mendapatkan izin trayek. Masalah pungli oleh petugas dari Dinas Perhubungan dan preman bukan rahasia lagi. Di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja dengan mudah dapat dilihat dengan mata telanjang. Tidak hanya di terminal-terminal, tetapi juga di berbagai persimpangan jalan, di tempat-tempat tertentu petugas dengan pakaian dinas, bermodalkan secarik kertas, secara santai memetik pungutan dari angkutan umum. Tak jarang kegiatan ‘menguntip’itu menimbulkan kemacetan panjang karena dilakukan di dekat persimpangan jalan.

Satu lagi jenis pungli yang biasanya membuat saya sering mengerutkan kening yaitu istilah timer angkot. Dari hasil pengamatan saya, timer angkot ini diperankan oleh ‘orang’ yang sering mencatat di atas kertas bekas bungkus pelapis rokok, potongan kardus atau setengah potong ukuran kertas folio. Model lain saya temukan dimana ‘orang’ itu memberikan air mineral dan lembaran kertas (tidak resmi) karena bukan dari Dispenda yang notabene tidak ada artinya bagi sopir. Masih untung jika kertasnya bisa dimanfaatkan setidaknya untuk mengganjal dashboard, kalau tidak, jadilah sampah-sampah kertas yang berceceran di mobil atau dibuang sembarangan.

Merajalelanya pungutan liat saat pengurusan KIR atau bukti jalan bagi angkutan umum/barang itu sepertinya seragam, untuk seluruh Nusantara. Di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya, keluhan sama sering mencuat, intinya tempat-tempat KIR dijadikan oknum Dinas Perhubungan (daerah) untuk menguntungkan diri sendiri. Yang membedakan hanya besar kecilnya pungli.  “Untuk mengurus KIR biasanya ada di 2 tempat, di Ujung Menteng Bekasi dan di Jagakarsa, dan di sana banyak punglinya.”kata Hari (50), seorang sopir Mikrolet M01 trayek Kp Melayu-Senen (Sumber: www.detiknews.com). Di daerah Garut, bahkan Kepala Dinas Perhubungannya, Hilman Farid mengungkapkan bahwa pihaknya tidak memungkiri jika saat ini masih terjadi pungutan liar oleh oknum anggkotanya terhadap kendaraan umum/barang (Sumber: www.rribandung.info). Hal ini juga berlaku di Makasar, dimana Koordinator Asosiasi Pemilik dan Sopir Angkutan Kota Makassar (Aspim) Basdir memprotes adanya ketidaksesuaian biaya ketika mengurus perpanjangan izin trayek yang dinilai sangat memberatkan para pemilik dan sopir (Sumber: www.sulawesigis.org).

Wah, wah, itu baru beberapa orang saja yang buka mulut, bagaimana jika ternyata semua profesi sopir menggunakan hak bersuara mereka secara blak-blakan, akan terlihat betapa masalah pungli dan turunannya itu memang menjadi momok yang menyengsarakan dan bisa mewabah seperti penyakit cacar. Iihhgg…ngeri juga membayangkannya! Padahal ini sering kali dipandang sepele sebelah mata. Kata ibu saya, dimana-mana penyakit jenis apapun tidak akan baik, termasuk penyakit perampasan hak.

Namun, saya tidak akan banyak menganalisa mengenai pungutan liar terkait retribusi KIR (surat layak jalan) dan izin trayek sebab sebuah hembusan angin, dimana keduanya telah dihapuskan, cukup melegakan sesak nafas para sopir dan pemilik armada angkutan umum. Pasalnya beberapa daerah, seperti Jakarta dan Tangerang dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia, telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Dinas Perhubungan, Organda dan Kepolisian untuk menyelasaikan masalah ini. Dimana, Firman S, selaku Kasi Angkutan Darat Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) kabupaten Tangerang, mengatakan pihaknya telah melakukan penertiban secara terpadu terhadap angkutan liar yang melanggar aturan resmi dan pungutan liar pada 17 Februari 2010 lalu (Sumber: www.republika.co.id/berita). 

Di tempat terpisah, ratusan sopir angkutan umum dari berbagai trayek (di Tangerang) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Tangerang yang menuntut upaya Pemkab Tangerang untuk mengatasi masalah pungli, pada Senin 05 April 2010. Sekda Kabupaten Tangerang, Hermasnyah, mengatakan bahwa masalah transportasi yang terjadi di kabupaten Tangerang memang sudah sangat parah. Namun, Ia berjanji akan segera menindaklanjuti tuntutan dari para sopir angkutan umum tersebut (Sumber: www.republika.co.id). 

Sedangkan bagi Pemprov DKI, keputusan penghapusan tiga biaya (retribusi  biaya KIR, izin trayek, dan pungutan terminal (emplasemen) untuk "menyehatkan" angkutan umum itu merupakan langkah besar yang penuh risiko. Apalagi penghapusan itu menimbulkan konsekuensi berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 7,3 miliar yang sebelumnya diterima dari biaya izin kir dan emplasemen (Sumber: www.suarakarya-online.com).

Kembali kepada inti analisa saya mengenai pungutan liar di jalan raya langsung yang telah merampas hak sopir angkot. Titik fokusnya adalah perampasan atas hak untuk mendapatkan rasa aman dalam melakukan pekerjaan (turunan dari hak untuk mendapatkan pekerjaan) dan berpotensi dalam menghilangkan hak berupa jumlah pendapatan yang (seharusnya) diterima sebagai mana mestinya.  Kecil tapi krusial! Bahkan kita sebagai konsumen angkot sering kali melupakan pelanggaran yang dialami para sopir. 

Tahukah kalian semua berapa jumlah uang yang terbuang akibat pungli? Mencapai Rp14 triliun dan 30% dari biaya operasional perusahaan angkutan (seperti yang dikatakan Murphy Hutagalung, Ketua Umum Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) disela-sela syukuran Ulang Tahun Organda ke-45, di Jakarta 2007. Sumber: www.majalahtrust.com) Hebat bukan? Begini hitungannya. Saat ini ada sekitar empat juta angkutan umum di Indonesia. bila setiap hari para sopir harus merogoh “jatah preman” sekitar Rp10 ribu, uang yang menguap di jalanan mencapai Rp 40 miliar per hari. Bila dalam setahun ada 350 hari, maka uang yang hilang di jalanan jumlahnya mencapai Rp 14 triliun per tahun (Sumber: www.majalahtrust.com).

Pungutan liar dapat menyebabkan beberapa hal. Pertama, pungli berdampak pada kenyamanan dan keselamatan, karena awak angkot dikejar setoran yang tinggi di satu pihak dan wajib membayar pungutan di pihak lain, maka tak jarang sopir mengangkut penumpang melebihi kapasitas sebagai pengobatnya. Selain itu, dana yang seharusnya untuk pemeliharaan disedot untuk pungli sehingga pemeliharaan terabaikan dan tidak bisa membeli onderdil atau mereparasi bagian kendaraan yang sudah rusak. Terabainya pemeliharaan dapat mengancam keselamatan awak angkutan maupun penumpang berupa kecelakaan. Ketiga, pungli memaksa tarif yang bebannya dipikul penumpang, demi menutupi biaya operasional, padahal penumpang angkot mayoritas adalah golongan miskin. Keempat, pungli juga dapat menurunkan kinerja angkutan umum. Oleh karena beban ekonomi dan psikologis bagi awak angkutan umum sangat tinggi, yaitu di satu sisi harus memenuhi setoran, tapi di sisi lain digencet oleh preman/tukang palak/aparat untuk membayar upeti dan tidak aman dalam bekerja. Maka konsekuensinya pelayanan terhadap penumpang buruk, dan karena pelayanannya buruk, maka lama-lama kinerjanya pun menurun, karena banyak penumpang yang meninggalkan angkot.

Ketika hak mereka untuk mendapatkan pendapatan sebagaimana mestinya terampas, secara tidak langsung akan merampas hak-hak anggota keluarganya juga. Anak-anak para sopir akan kesulitan di dalam jalur pendidikannya, tidak mampu belajar ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat membeli peralatan sekolah dan akhirnya harus berhenti sekolah. Selain itu, mereka pun akan kekurangan makanan yang bergizi dikarenakan istri tidak bisa berbelanja kebutuhan dapur sebagaimana mestinya.  Itu baru gambaran untuk satu kepala keluarga yang bekerja sebagai sopir, di Indonesia ada empat juta angkot, jadi tak heran bila kebanyakan profesi angkot tidak bisa hidup layak.

Lantas apa yang bisa kita lakukan melihat sistem ini? (akhirnya saya menyebutnya sebagai sistem), sebagai penumpang dan sebagai mahasiswa. Tak banyak yang dapat kita lakukan karena ini memang sistem, yang mana sistem ini telah tertanam kuat di masyarakat per-angkot-an. Namun jika boleh membandingkan, angkot di tempat saya tinggal sekarang (Bandung) dengan tempat saya dibesarkan dulu (Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan), keadaannya berbeda sekali. Angkot di sana disebut pete-pete dan berwarna kuning ngejreng. Soal layanan, jangan ditanya, sangat nyaman. Ngetem adalah hal yang tidak pernah saya temui dan disepanjang jalannya tak seorang pun berjaket hitam atau petugas mengganggu kelancaran pete-pete. Ini bukan soal besar kecilnya sebuah kota, bukan tentang banyak sedikitnya trek angkot dan tidak menyoal jumlah penumpang di dalam perbandingan tersebut. Hanya saja saya heran mengapa pete-pete bisa membuat saya jatuh cinta dan menikmatinya sedangkan angkot Bandung membuat saya sebal. 

Di sana sistemnya jelas. Setiap pangkalan pete-petenya pun jelas termasuk jumlah kendaraan dan treknya. Rasa aman para sopir dalam mengemudi juga terjamin. Di sana tidak adanya uang yang dibuang-buang untuk pungli, sehingga pendapatan mereka pun terbilang lumayan. Selain itu kendaraannya juga dalam keadaan sehat wal’afiat alias sangat baik. Bahkan jarang sekali pete-pete yang terlihat rusak. Kejar Setoran? Santai. Di sana para sopir tidak perlu bermain adrenalin di tengah jalan. Mereka lebih senang bekerja secara santai tapi sukses. Akibatnya, penumpang tenang-sopir senang.

Pada umumnya, sebagai penumpang atau masyarakat umum, yang bisa dilakukan hanyalah melaporkan kepada pemerintah untuk menghapuskan pungli, kemudian melaporkan, selanjutnya melaporkan dan melaporkan. Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud mengembalikan hak para sopir di tempat semula. Melaporkan preman-preman petugas pelaku pungli kepada pihak yang berwenang. Lagipula kita jangan tinggal diam jika si preman kebetulan bermukim di lingkungan kita, laporkan saja kepada pejabat setempat setingkat RT, RW, Lurah bahkan Camat. 

Sebagai mahasiswa sekaligus sebagai pembela hak-hak sopir angkot, kita pun bisa berdiri pada barisan terdepan atas masalah ini. Caranya dengan membuka mata bahwa ada ‘sistem rusak’ pada transportasi darat ini dan harus dibersihkan. Melakukan pengamatan dan penelitian terkait pungutan liar adalah salah satu upaya tersebut. Kita tidak boleh cuek dan acuh penyakit yang menimpa angkot ini. Sebagai orang terdidik, seharusnya kita bisa lebih sensitif dalam menerima pelayanan umum dan peka atas sistem di belakangnya. Berupa essay seperti ini, misalnya. Dimana kita mengangkat ke permukaan kasus yang berakar ini, bukan karena bapak kita seorang sopir angkot sehingga kita merasakan haknya yang terampas, tetapi karena kita memang peduli dengan profesi ini. Kita tidak senang melihat preman-preman dan petugas yang mendapatkan ‘uang ajaib’, kita merasa prihatin dengan nasib sopir dan terlebih lagi kita sebagai orang yang merasakan dampak langsung yang ditimbulkan adanya pungli atau palak, yaitu ketidaknyamanan. 

Essay ini saya anggap sebagai pioneer dalam membuka mata rekan-rekan mahasiswa di seluruh Nusantara. Dimulai dari ketidak puasan saya terhadap angkot-angkot di Kota Bandung dibandingkan pete-pete di Parepare, berangkatlah tulisan ini sebagai wujud kepedulian saya atas hak sopir angkot. Sangat tidak mungkin akan lahir essay dan tulisan lainnya dalam berbagai bentuk mengenai topik yang sama kedepannya. Dari essay inilah, dapat kita jadikan sebagai referensi untuk melaporkan masalah pungli kepada pemerintah. Bermanfaat sekali jika mahasiswa mulai peka atas masalah kecil seperti ini di masyarakat dan bukan justru terlalu mengabaikannya. Sebab dimulai dari kepedulian dan keprihatinan ini, akan terbentuk mental-mental yang lebih memikirkan hak-hak orang lain jikalau kita telah menjadi bagian dalam sebuah sistem transportasi di negeri ini.

Suatu hari siapa yang akan meramalkan bahwa rekan-rekan mahasiswa siapa tahu akan menjadi stakeholder atau bekerja pada Dinas Perhubungan (daerah), dan bergelut dengan dunia angkutan darat seperti angkot. Siapa yang dapat menyangka bahwa justru di tangan kita, sistem pungli dan turunannya akan terhapuskan secara menyeluruh. Tidak ada preman dan oknum, tidak ada pungli dan tidak ada perampasan hak. Angkot bekerja dengan baik serta merasa aman, pendapatan meningkat dan penumpang pun akan semakin gemar menggunakan angkot. Terlebih lagi, anggota keluarga para sopir akan merasakan faedah dari pendapatan ayah/bapak mereka untuk melangsungkan kehidupan. Hidup mahasiswa!

***
REFERENSI:
http://anggityuwono.wordpress.com/2010/06/20/nasib-supir-angkot/
Nasib Sopir Angkot
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010. 10.00 WIB

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=220938
Bebas Biaya, Cara DKI Menyehatkan Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010

http://ibuseno.multiply.com/journal/item/336/Timer_Angkot
Timer Angkot
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010. 12.00 WIB

http://www.detiknews.com/read/2009/02/20/144446/1087992/10/aduh-pungli-menggila-kala-urus-izin-angkutan-umum
Aduh, Pungli Menggila Kala Urus Izin Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 12 juli 2010

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/04/05/109574-ratusan-sopir-angkutan-umum-demo-bupati-tangerang
Ratusan Sopir Angkutan Umum Demo Bupati Tangerang
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010

http://instran.org/index.php?option=com_content&view=article&id=111:melihat-kinerja-departemen-perhubungan&catid=25:front-page&Itemid=1&lang=en
Melihat Kinerja Departemen Perhubungan
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010

http://www.rribandung.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2286
Kepala Dinas Perhubungan Garut Akui Anggotanya Lakukan Pungli
Tanggal pengambilan data: 12 Juli 2010

http://talking-2.blogspot.com/2009/09/soal-polemik-angkutan-umum.html
Soal Polemik Angkutan Umum
Tanggal pengambilan data: 11 Juli 2010

http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/1193.php
Gembos Akibat Pungli
Tanggal pengambilan data: 10 Juli 2010

by: @iicoet

Wednesday, July 30, 2014

Terimakasih Tuhan untuk Kedua Kalinya

“Entah feeling atau apa.. hanya saja perasaanku mendadak sangat tidak nyaman saat itu.”
...............
Sewaktu aku kecil aku pernah mengalami kejadian yang amat lekat di memoriku. Kejadian yang masih menjadi trauma bagiku. Saat itu, aku sedang naik motor dengan kedua orangtuaku. Karena sebuah kecelakaan kecil, motor yang dikendarai ayahku hampir saja masuk ke dalam jurang. Detik-detik yang menegangkan dalam hidupku, dan aku pun sangat bersyukur karna aku bisa selamat.
...............
Sore itu perasaanku senang sekali karena akan mengikuti acara Tadrib. Tadrib adalah acara yang diadakan oleh CMA (organisasi rohis di sekolaku). Tadrib diadakan sekali setahun dan biasanya kita pergi camping ke gunung. Lokasi campingnya di Batu Kuda, ya tak terlalu jauh juga karena masih di daerah Bandung.

Setelah selesai pengarahan, kami pun berkemas dan memasukkan barang-barang kami ke dalam angkot. Ya! Kita pergi ke Batu Kuda naik angkot bersama. Sekitar 5 angkot sudah di booking untuk perjalanan kami kesana. Entah feeling atau apa.. hanya saja perasaanku mendadak sangat tidak nyaman saat itu. Perasaanku yang senang tadi tiba-tiba diselimuti rasa khawatir. Teman-temanku sudah masuk angkot. Mereka lebih memilih duduk paling ujung, bahkan berebutan untuk mendapatkan kursi yang paling ujung. Sedangkan aku? Aku lebih memilih untuk duduk dekat pintu. Setidaknya dengan duduk dekat pintu aku bisa lebih agak tenang.

Akhirnya kami pun berangkat. Aku mencoba untuk menenangkan perasaanku. Tanganku mulai terasa dingin. Dan aku hanya bisa beristighfar dalam hatiku. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terbesit di otakku. Aku melirik ke arah kakak kelasku yang duduk di hadapanku.
“Teh..” Kataku dengan suara pelan.
“Ya?”
“Nanti perjalanannya nanjak-nanjak ga?”  Teteh itu terdiam sejenak. Dalam hati aku menggerutu betapa anehnya pertanyaanku. Semua orang yang ada di angkot tertawa gembira sambil menceritakan lawakan-lawakan mereka. Sementara aku malah nanya hal konyol dengan muka yang tegang.
“Ehm ia.. tapi ga terlalu nanjak ko..”



Fyuuuhhh.. Perkataan teteh tadi membuat hatiku merasa sedikit tenang. Ternyata keteganganku memang hanya bawaan trauma masa kecil ku terhadap jalan yang menanjak. Akhirnya aku pun mencoba untuk senang bersama teman-temanku. Ikut tertawa bersama dan nyanyi2 bersama. Walaupun hatiku masih tetap khawatir, tapi aku terus mengatakan pada diriku. Jalannya ga nanjak banget ko ris..

Perjalanan kami semakin dekat dengan Batu Kuda. Suasana dalam angkot semakin berisik, dan aku kembali terdiam lagi.
“Ssssstttt!!! Jangan berisik nanti ganggu konsentrasi mang angkotnya.” Kata teteh yang duduk di depan.

Seketika keadaan menjadi sunyi. Tak ada yang berbicara ataupun tertawa. Ya, nampaknya kita sudah dekat dengan gunung dan jalannya semakin menanjak dan berkelok-kelok. Duh.. katanya ga nanjak banget, tapi segini mah bagi aku udah nanjak banget.. Keluhku dalam hati. Perasaan khawatirku yang sempat mereda kini memucak lagi saat ku melihat pinggiran jalan adalah jurang. Aku terus beristigfar dalam hatiku. Aku terus melihat jalanan yang semakin menanjak dan berliku. Di depan sana aku sudah melihat tanjakan yang curam. Pak Supir semakin menancapkan gasnya untuk menghadapi tanjakan yang curam itu. Tiba-tiba saat di tengah belokan yang menanjak, mesin angkot itu mati. Keadaan menjadi panik. Pak Supir mencoba untuk menghidupkan mesin namun hasilnya nihil. Aku pun semakin takut dan tegang. Pak Supir akhirnya berteriak. “KELUAR! CEPET KELUAR!!” Aku pun sontak keluar dari angkot itu tanpa memperdulikan barang-barangku yang ada di dalam angkot. Aku dan dua orang temanku yang sudah keluar dari angkot itu mencoba menahan angkot agar tak tergelincir kebawah. Aku pun berteriak dari luar. “TOLONG! TOLONG!.” Tapi nampaknya tak ada yang mendengar teriakanku, walaupun ada warga sekitar yang melihat namun mereka tak berani menolong. Tanganku yang mungil itu tak dapat menahan angkot itu lebih lama. Angkot itu pun tergelincir ke bawah menuju jurang. Temanku yang tadi sempat keluar dari angkot kini terlempar dan terguling ke sisi jalan. Aku mendengar teriakan teman-temanku yang ada di dalam angkot. Aku pun tak tau jurang itu sedalam apa, yang jelas jika angkot itu jatuh kesana pasti akan terguling dan hancur. Pikiranku seketika kacau dan yang ada di benakku adalah.. Apakah teman-temaku akan selamat??

BUK!!!


Terdengar suara yang cukup keras dari sana. Sebuah pohon yang cukup besar telah menahan angkot itu agar tidak masuk jurang. Entah keajaiban apa yang terjadi saat itu. Mesin angkot itu kembali hidup dan Pak Supir membawanya menjauhi jurang. Alhamdulillah .. Namun, ada satu hal yang terlupakan. TEMANKU! YA TEMANKU YANG TERGULING TADI! Aku langsung menghampiri temanku yang sempat jatuh terlempar itu. Untung saja dia hanya luka kecil dan masih dalam keadaan sadar. Aku memberikannya tissue untuk membersihkan tangan dan wajahnya. Sungguh tak di percaya. Kita semua selamat. Beberapa warga sekitar menghampiri kami, mungkin untuk sekedar membantu dan menanyakan keadaan. Ternyata kata warga sekitar memang tanjakan itu dikenal berbahaya karena banyak orang yang mengalami kecelakaan di tanjakan itu. Tanjakan maut, begitulah aku menyebutnya.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami dengan jalan kaki. Karena beberapa dari kami ada yang masih shock dengan kejadian itu. Termasuk aku! Bagaimana tidak? Aku pernah merasakannya saat aku masih kecil. Dan kini Tuhan telah menyelamatkanku kedua kalinya dari peristiwa ini. Ya Allah Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Entah apa yang terjadi pada kita di masa yang akan datang. 

Kalau saja Engkau tak menumbuhkan pohon itu. Kalau saja Engkau tak mengarahkan angkot itu ke pohon. Kalau saja Engkau tak menjadikan pohon itu sebagai penopang angkot kami.. Mungkin saja kami tak akan selamat.. Dan mungkin saja hari itu aku tak bisa melihat senyuman teman-temanku lagi.. Aku sangat sangat bersyukur.. Terimakasih Ya Allah.. Atas segalanya..


-Risa-